VALVE
a. Sejarah Perusahaan
Valve didirkan pada 1996 oleh Gabe Newell dan Mike Harrington. Newell sempat berkuliah di Harvard University, walau dia tidak pernah menyelesaikan masa kuliahnya. Dia lalu bekerja di Microsoft selama 13 tahun. Di bawah kepemimpinan Bill Gates, dia belajar banyak tentang bisnis software. Selama dia bekerja di Microsoft, dia berhasil mengumpulkan kekayaan lebih dari US$1 juta, yang akan dia gunakan untuk membangun Valve. Sama seperti Newell, Harrington juga berhasil menjadi miliarder berkat bekerja untuk Microsoft. Bersama, keduanya mendirikan Valve.
Saat didirikan, Valve merupakan LLC (Limited Liability Company), struktur perusahaan di Amerika Serikat yang biasa digunakan oleh perusahaan kecil. Jika dibandingkan dengan korporasi, LLC menawarkan beberapa kelebihan, seperti pajak yang lebih ringan dan manajemen yang fleksibel. Valve memiliki markas di Kirkland, Washington, hanya berjarak delapan kilometer dari kantor Microsoft di Redmond.
Sekarang, Valve mungkin lebih dikenal dengan platform distribusi game digitalnya, Steam. Namun, pada awalnya, Valve merupakan developer game. Mereka lalu memodifikasi game engine buatan id Software, Quake engine, untuk membuat game pertama mereka, Half-Life.
b. Keuangan Perusahaan
Valve tidak mengumumkan laporan keuangan mereka pada publik. Namun, ada pihak ketiga yang tertarik untuk membuat estimasi dari total penjualan Steam. Salah satunya adalah Steam Spy. Seperti namanya, situs itu bertujuan mengumpulkan data tentang Steam untuk memperkirakan total penjualan game di platform tersebut. Pada 2017, pendiri Steam Spy, Sergey Galyonkin memperkirakan bahwa pemasukan Steam dari penjualan game mencapai US$4,3 miliar, naik dari US$3,5 miliar pada 2016.
Uniknya, besarnya pemasukan Steam bukan karena banyaknya game yang ada di katalog mereka. Lebih dari setengah dari pemasukan Steam berasal dari kurang dari 100 game terpopuler yang ada di platform tersebut. Padahal, Steam memiliki lebih dari 21 ribu game saat itu.
c. Karakteristik Perusahaan
Meskipun Half-Life adalah game pertamanya, Valve punya ambisi besar dalam membuat game tersebut. Karena itu, tidak heran jika mereka kesulitan untuk mencari publisher yang bersedia merilis game pertama mereka. Untungnya, Sierra On-Line akhirnya mau memberikan kesempatan pada Valve dan bersedia untuk meluncurkan Half-Life. Pada November 1998, Half-Life diluncurkan. Game itu sangat sukses, jutaan unit Half-Life terjual. Sampai sekarang, Half-Life dikenal sebagai game legendaris.
Setelah sukses dengan Half-Life, Valve tidak buru-buru untuk membuat game baru. Mereka lebih memilih untuk memanfaatkan momentum yang mereka dapat untuk mengembangkan dunia Half-Life. Mereka meminta Gearbox Software — yang kini dikenal sebagai developer seri Borderlands — untuk meluncurkan dua expansion packs dari Half-Life, yaitu Half-Life: Oppsoing Force pada 1999 dan Half-Life: Blue Shift pada 2001, lapor Polygon.
Tak hanya itu, mulai akhir tahun 1990-an sampai awal 2000-an, Valve mendorong komunitas modding untuk mengembangkan mod dari Half-Life. Mereka bahkan merilis Software Development Kit (SDK) dari game itu secara gratis. Jadi, tidak heran jika ada banyak mods Half-Life yang muncul, seperti Deathmatch Classic, Ricochet, Gunman Chronicles, dan Day of Defeat. Tidak berhenti sampai di situ, Valve bahkan rela membantu beberapa kreator untuk menyempurnakan mod mereka. Inilah salah satu alasan mengapa para hardcore gamer begitu mencintai Valve.
Mod untuk Half-Life begitu beragam sehingga ada mod yang kemudian dikembangkan menjadi game yang sama sekali baru. Salah satunya adalah Counter-Strike, yang dikembangkan oleh Minh Le dan Jess Cliffe. Versi beta dari game tactical shooter itu dirilis pada 1999. Dengan cepat, game tersebut mendapatkan banyak pemain. Melihat hal ini, Valve justru merangkul Minh Le dan Cliffe. Satu tahun kemudian, Counter-Strike 1.0 dirilis. Saat itu, popularitas game tersebut sudah bisa menyaingi game-game dari franchise ternama, seperti Halo dan Call of Duty. Sekarang, Counter-Strike: Global Offensive adalah salah satu game esports paling populer di dunia.
Valve terus mendukung komunitas gamer. Namun, dari segi bisnis, ada beberapa perubahan yang terjadi. Pada 2000, Harrington keluar dari Valve, menjadikan Newell sebagai satu-satunya pendiri yang masih bertahan di perusahaan itu. Sementara pada 2003, Valve berubah menjadi Valve Corporation, tak lagi berbentuk LLC. Salah satu hal yang membedakan LLC dan Corporation adalah jika LLC dimiliki oleh seorang atau lebih pemilik, kepemilikan korporasi ada di tangan para pemegang saham. Selain itu, Valve juga memindahkan kantornya ke Bellevue, Washington.
Di tengah semua ini, Valve terus melanjutkan dua proyek penting mereka, yaitu pengembangan game engine Source dan platform distribusi game digital Steam. Kedua proyek ini akan mengubah nasib Valve sehingga mereka tak hanya dikenal sebagai developer game.
d. Keunggulan perusahaan
Menurut Forbes, sebagai pendiri Valve, Gabe Newell memiliki harta kekayaan sebesar US$3,5 miliar. Dia duduk di peringkat 239 dalam daftar Forbes 400 2019 dan di peringkat 529 dalam daftar Forbes Billionaires 2019.
Satu hal yang menarik dari Valve adalah bagaimana perusahaan tersebut berevolusi. Pada awalnya, Valve adalah developer game. Mereka menuai sukses dengan game pertamanya, Half-Life. Setelah itu, mereka memutuskan untuk mengembangkan dunia Half-Life dengan meluncurkan expansion packs. Mereka juga terus mendorong komunitas modding untuk membuat mod untuk game tersebut. Ada beberapa mod yang kemudian diluncurkan sebagai game mandiri dan sukses, seperti Counter-Strike.
Sebagai developer, Valve juga mengembangkan game engine sendiri, yang mereka buat dengan memodifikasi game engine buatan id Software, Quake. Berawal dari game engine Goldsource, Valve terus memodifikasi engine tersebut, sehingga mereka menghasilkan Source dan Source 2. Selain itu, Valve juga membuat platform distribusi game, Steam, yang baru saja memecahkan rekor jumlah pengguna concurrent. Dalam beberapa tahun belakangan, Valve juga aktif dalam scene esports. The International, turnamen tahunan Dota 2 terbesar, selalu menaikkan total hadiah mereka dari tahun ke tahun.
RIOT GAMES
a. Sejarah Perusahaa
Riot Games didirikan pada Agustus 2006 oleh Marc Merrill dan Brandon Beck. Keduanya bukanlah developer game. Faktanya, Merrill dan Beck bertemu ketika mereka masih kuliah di University of Southern California. Mereka menjadi akrab karena mereka senang bermain game, khususnya game multiplayer seperti StarCraft dan EverQuest. Setelah lulus kuliah, Merrill dan Beck menempuh jalannya masing-masing. Beck bekerja di Bain & Company, perusahaan konsultasi ternama, sementara Merrill diterima di US Bank. Meskipun begitu, mereka merasa tidak puas dengan pekerjaan yang mereka tekuni. Tak lama kemudian, keduanya kembali bertemu di Los Angeles.
“Kami tinggal di apartemen kecil di West Hollywood,” kata Beck, dikutip dari Polygon. “Inilah awal mula Riot. Apartemen kami tidak punya banyak furnitur, tidak ada poster di tembok, pigura foto belum dipajang. Tapi, ada dua komputer gaming yang diletakkan di atas dua meja yang membentuk huruf ‘L’.”
Walau telah bekerja, baik Merrill dan Beck masih mencintai game. Mereka menghabiskan banyak waktu mereka bermain game. Tidak hanya itu, mereka juga aktif di forum internet, memberikan kritik atau pujian pada game favorit mereka. Sebagai fans hardcore, terkadang, mereka merasa frustasi ketika developer dari game-game yang mereka sukai tidak mendengarkan pendapat dari para fans. Ini membuat mereka berpikir, salah satu masalah developer game adalah mereka tak terlalu memedulikan game yang telah mereka luncurkan serta komunitas dari game-nya.
“Kami merasa frustasi ketika developer berhenti mendukung komunitas dari game yang kami mainkan,” ujar Beck. “Para developer seolah-olah dikejar untuk mengembangkan sesuatu yang baru. Padahal, kami pikir, mereka tidak perlu melakukan itu dan cukup mempertahankan game yang telah mereka luncurkan. Ada beberapa hal yang bisa mereka perbaiki untuk membuat ekosistem game bertahan lebih lama.” Dua game yang menjadi favorit Merrill dan Beck adalah StarCraft dan Warcraft 3. Memang, Blizzard memberikan dukungan yang cukup lama pada kedua game itu, walau pada akhirnya, fokus mereka pindah ke proyek lain. Uniknya, para fans dari dua game itu tetap aktif, baik dalam bermain ataupun dalam membuat mod. Ada dua mod yang menginspirasi Merrill dan Beck untuk membuat game ber-genre Multiplayer Online Battle Arena, yaitu Aeon of Strife, mod dari StarCraft dan DotA: Allstars, mod dari Warcraft 3.
Ketika Beck dan Merrill memutuskan untuk membuat game sendiri, orang pertama yang mereka rekrut adalah Steve “Guinsoo” Feak, salah satu desainer yang mengembangkan DotA: Allstars. Mereka bertiga lalu merekrut beberapa orang lain yang juga ikut mengembangkan DotA: Allstars. Setelah itu, mereka langsung mencoba membuat game. Game pertama yang Riot buat jauh berbeda dari League of Legends yang ada sekarang. Meskipun begitu, game tersebut sudah memiliki struktur layaknya game MOBA. Ketika itu, Riot menamai game-nya Onslaught.
“Nama game kami sangat jelek,” kata Merrill sambil tertawa. “Kami menjadikan musik metal sebagai background music. Minion terlihat seperti makhluk undead.” Meskipun begitu, Merrill dan tim Riot lainnnya bangga akan game yang mereka buat. Pada 2007, Riot mengikuti Game Developers Conference di San Francisco, membawa demo dari game mereka. Di sana, Merrill dan Beck bertemu dan berdiskusi dengan banyak publisher game. Sayangnya, tidak ada publisher yang mau merilis game buatan Riot.
Namun, diskusi tersebut membantu Merrill dan Beck memahami siklusi penerbitan game. Mereka sadar bahwa publisher biasanya meluncurkan game baru secara rutin. Dalam diskusi dengan Riot, para publisher membahas tentang bagaimana cara agar mereka bisa merilis kelanjutan dari game Riot secara rutin. Ini berbeda dari apa yang Beck dan Merrill inginkan. Riot tak ingin membuat franchise yang akan menelurkan game baru secara rutin. Mereka ingin membuat satu game multiplayer online dan terus mengembangkannya seiring dengan waktu. Mereka juga ingin membuat game gratis dengan model bisnis microtransaction. Meski sekarang game dengan model bisnis microtransaction sudah banyak, pada 2007, tidak banyak publisher game yang tahu tentang model bisnis tersebut. Karena itu, tidak heran jika para publisher menolak untuk merilis game buatan Riot.
“Pada awalnya, kami hanya ingin menjadi developer game,” ungkap Merrill. “Kami tidak berencana untuk masuk ke bisnis penerbitan game. Tapi, ketika kami bertemu dengan para publisher, kami sadar bahwa kami tidak bisa menyerahkan hidup-mati game kami pada mereka.”
Tim Riot lalu kembali ke Los Angeles. Merrill and Beck mengganti fokus mereka, dari mencari publisher menjadi mencari dana investasi. Pada pertengahan 2007, Riot juga memutuskan untuk mengganti nama game mereka, dari Onslaught menjadi League of Legends: Clash of Fates.
b. Keuangan Perusahaan
Kesuksesan League of Legends tidak hanya karena mekanisme dari game tersebut, tapi juga didukung oleh cara Riot menjalankan bisnis mereka. Pada 2011, League of Legends telah terbukti sebagai game populer. Saat itu, Merrill dan Beck ingin mengurangi jumlah investor mereka. Jadi, kedua pendiri Riot tersebut menjual sebagian besar saham perusahaan mereka pada Tencent.
“Investor finansial biasanya memiliki target waktu kembali investasi yang lebih singkat,” kata Merrill. “Kami merasa, lebih baik jika kami hanya memiliki satu pemegang saham, tapi mereka memiliki visi yang sama dengan kami daripada memiliki banyak investor dengan visi yang berbeda-beda.” Walau sempat mengalami masalah dengan Tencent, Riot bisa beroperasi secara mandiri. Beck bahkan menyebutkan, kebanyakan pekerja Riot tidak pernah bertemu dengan perwakilan Tencent. Dengan ini, Riot bisa fokus untuk mengembangkan League of Legends.
Dalam waktu lama, League of Legends adalah satu-satunya game Riot. Namun, game tersebut terbukti mampu menghasilkan pemasukan yang tidak sedikit. Pada 2019, 10 tahun sejak League of Legends diluncurkan, Riot mendapatkan US$1,5 miliar dari game MOBA itu. Ini menjadikan League of Legends sebagai game gratis dengan pemasukan terbesar kedua setelah Fortnite, yang meraup US$1,8 miliar.
Pemasukan Riot dari League of Legends pada 2019 naik jika dibandingkan dengan pemasukan pada 2018, yang hanya mencapai US$1,4 miliar. Meskipun begitu, angka itu masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan pendapatan Riot pada 2017 (sebesar US$2,1 miliar) dan 2016 (sebesar US$1,7 miliar), menurut laporan Dot Esports.
c. Karakteristik Perusahaan
Selama bertahun-tahun, mereka dianggap sebagai studio one-hit wonder karena tidak meluncurkan game baru selain League of Legends. Hal ini berubah pada 2019. Tahun lalu, Riot mendadak mengumumkan sejumlah game baru, yaitu Teamfight Tactics, Valorant, Legends of Runeterra, dan League of Legends: Wild Rift.
Justin Hulog, General Manager, Riot Games di Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan mengungkap, Riot sebenarnya telah mengembangkan beberapa game baru selama beberapa tahun belakangan. Tentu saja, mereka juga tidak lupa untuk membangun League of Legends dan properti intelektual mereka. Dia mengungkap, meski Riot memiliki banyak ide untuk game baru tapi hanya sedikit yang akhirnya mereka realisasikan.
“Tujuan kami adalah untuk memberikan sesuatu yang unik pada genre game yang berbeda-beda. Kami harap, hal ini akan membuat game-game kami disukai oleh para gamers. Kami percaya, dengan memberikan gameplay yang menarik dan komunitas yang sehat, kami akan akan sukses. Tapi, bukan itu tujuan kami.”
Justin mengatakan, ada dua fokus Riot. Pertama, mengembangkan game yang disukai banyak gamer. Kedua, bertahan pada komitmen player-first, yang berarti mereka siap mendengarkan masukan para pemain dan mengembangkan komunitas gamer. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan membuat Dev Diaries. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, dia mengatakan, Riot sangat aktif di Facebook Page dan server Discord SEA.
Sayangnya, itu bukan berarti tidak ada para pemain League of Legends dan fans Riot yang bersikap toxic. Dalam game, Anda masih akan menemukan orang-orang yang merusak kesenangan bermain pemain lain, baik dengan melontarkan komentar berbau rasis atau seksis maupun mencaci-maki pemain lain. Untuk mengatasi hal ini, Justin menyebutkan, Riot menetapkan metode baru, yang dinamai Player Dynamics, pada bulan lalu. Dia menjelaskan, mereka memelajari perilaku para pemain dan menyediakan alat komunikasi dengan tujuan untuk memberikan pengalaman bermain yang lebih baik.
“Ketika kami meluncurkan game multiplayer baru, kami ingin memastikan bahwa kami telah melakukan semua yang kami bisa untuk memberikan pengalaman terbaik bagi para pemain. Kami akan memerhatikan interaksi antar pemain dalam tahap awal pengembangan game. Jadi, ketika kami akhirnya meluncurkan game baru, kami telah tahu cara memastikan para pemain dan komunitas dapat berkembang dengan baik,” ujar Justin.
d. Keunggulan Perusahaan
Meskipun dengan cara yang tidak biasa — fokus pada satu game selama bertahun-tahun — Riot berhasil mencapai sukses. Selain itu, mereka juga dapat mengambil kesempatan untuk mengembangkan esports dengan cepat. Jadi, tidak heran jika ekosistem esports League of Legends sudah sangat mumpuni. Namun, itu bukan berarti Riot puas dengan apa yang sudah dicapai.
Pada tahun 2019, mereka mengumumkan dua game baru, yaitu Teamfight Tactics dan League of Legends: Wild Rift. Sementara pada tahun ini, mereka berencana meluncurkan dua game lain, yaitu Legends of Runneterra dan Valorant. Mereka juga sudah mempertimbangkan cara untuk mengembangkan ekosistem esports dari game-game barunya. Namun demikian, saat ini kondisinya akan berbeda dengan sebelumnya karena mereka harus menangani lebih dari satu game.
Digital Happiness
a. Sejarah Perusahaan
DH telah berdiri sejak 2011 dan ia bersama timnya mulai mensahkan DH pada 2013. "Berdirinya 2011 atau 2012, mulai kita bikin legalnya 2013. Basic-nya saya dulu punya studio animasi, dari dulu cita-cita bikin game. Ekosistem bikin game waktu itu belum sebagus sekarang. Waktu itu kita mau nge-lisence engine game mahal banget," terang Imron.
Pada 2011, Imron diperkenalkan dengan mesin game Unity dan menurutnya sangat affordable dengan biaya licence USD1500. "Dan itu mengingatkan mimpi kita kembali, kita bentuk Digital Happiness, waktu itu memang kita berempat, dua orang project base, istilahnya tukang pacul, ngerjain projek, dua orang nge-develop IP kita itu (DreadOut) akhir 2012," jelasnya.
"Kita coba develop IP DreadOut itu, development cost dari saving income project dan dibantu oleh crowdfunding internasional Indigogo. Kita pertama di Indonesia pada Juni 2013, kita keluarin demo dan kita ikutan crowdfunding itu," tambahnya.
b. Keuangan Perusahaaan
Imron mengakui bahwa melalui crowdfunding tersebut, DH yang menargetkan pemasukan dana USD25 ribu selama 40 hari, malah mendapat lebih menjadi USD29 ribu. "Kita tercapai USD29 ribu, dapat lebih 4000-an. Dari situ, kita leburkan kembali untuk stop macul dan fokus pada development," ungkapnya.
c. Karaktersitik Perusahaan
setelah mendapatkan pembiayaan crowdfunding, lalu DH mengembangkan game selama 6-8 bulan. "Akhirnya rilis episode pertama pada Mei 2014, distribusi via digital Steam. Alhamdulillah dari situ, cita-cita gimana caranya kita bisa hidup dari satu game itu. Kita awalnya berempat, bertujuh, berdua belas, sekarang berduapuluh. Desember (tahun ini) mudah-mudahan episode kedua muncul," imbuhnya.
d. Keunggulaan Perusahaan
Sejak pertama kali dirilis pada 2014 lalu, Dreadout mampu mendulang pendapatan berlimpah. Hingga akhir 2019, game horor ini sudah diunduh oleh lebih dari 2,5 juta gamers di seluruh dunia.
Mengutip dari South China Morning Post, Jumat (19/6/2020), keuntungan yang didapat Digital Happiness dari Dreadout ditaksir mencapai 4 juta dolar AS atau sekitar Rp 56 miliar.
Uniknya, pendapatan tersebut tidak murni dari game saja, namun berkat waralabanya juga. Pada tahun lalu, Dreadout diadaptasi ke layar lebar dan cukup direspon positif oleh penonton Indonesia.
Own Games
a. Sejarah Perusahaan
Own Games bukanlah pemain baru di industri game Indonesia. Mereka telah aktif di belantara game lokal sejak 2011. Tahun itu merupakan era kejayaan Nokia dan Own Games salah satu pengembang game yang cukup sukses di Nokia. Salah satu game mereka yang berjudul Beneath the Well dan Own Pet Dragons pernah di-pre load oleh perangkat Nokia. Sudah 5 tahun lebih Own Games terus berkarya dan mengembangkan produk-produk mereka.
Di platform Android, Own Games sudah merilis cukup banyak judul game seperti Own Super Squad, Own Pet Dragon, Eyes On Dragon, Own Kingdom, dan masih banyak lainnya.
Dilihat dari jumlah download-nya, mungkin bisa dikatakan game-game tersebut belum sesukses Tahu Bulat. Ada yang download-nya tinggi, ada yang biasa saja, ada yang kurang. Namun satu hal yang pasti, sukses itu hanya bisa dicapai dengan kerja keras dan juga konsistensi. Own Games terus berkarya dan berinovasi mencoba mewujudkan game-game terbaik hingga akhirnya lahir game Tahu Bulat.
b. Keuangan Perusahaan
Game itu dapat dimainkan di telepon seluler bersistem operasi Android versi 2.3 ke atas. Pengembang juga menyediakan produk dalam aplikasi seharga Rp 3.000 hingga Rp 120 ribu per barang. Pada versi terbarunya sekarang, Tahu Bulat hadir dalam versi berbahasa Inggris untuk menjangkau pemain di negara lain, seperti di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Australia. Nama barunya menjadi Round Tofu.
Tahu Bulat sempat menjadi game gratis yang membayangi kepopuleran game seperti Clash of Clans di Google Play Store. Dari segi pendapatan, hasil penjualan produk di dalam aplikasi game, Tahu Bulat mendatangkan pemasukan bagi pengembangnya. “Lumayan, penghasilan pernah masuk Top 10 game, sekarang peringkatnya turun,” kata Eldwin.
c. Karakteristik Perusahaan
Game Tahu Bulat ini juga lahir dari program rutin Own Games membuat satu game design setiap dua minggu sekali. Awalnya program ini dibuat untuk meningkatkan pengetahuan dan skill terkait pengembangan game mereka agar bisa terus berinovasi.
Pada acara Pasar Komik Bandung 2016, Own Games iseng membuat game yang awalnya hanya ide saja tetapi akhirnya dibuat dalam bentuk game. Dan di versi awal yang dibuat dalam waktu satu hari ini saja, ternyata respon pengunjung acara tersebut sangat bagus, ini membuat Own Games mengerjakan game tersebut lebih serius lagi sebelum merilisnya ke publik.
Mirip seperti kisah kesuksesan Flappy Bird, game Tahu Bulat menjadi viral karena mendapat exposure dari media. Dalam waktu singkat, game Tahu Bulat bisa mendapat ratusan ribu download.
Hal ini bukan hanya karena nama game-nya saja yang unik, tapi game-nya sendiri juga tidak sembarangan. Dengan model genre clicker game, Tahu Bulat menjadi game yang sangat sederhana dan mudah dimainkan. Namun jangan salah, konten di dalam game ini sangat dalam dan adiktif.
d. Keunggulan Perusahaan
Terkait dengan mental positif, Own Games juga tidak ingin menikmati kesuksesan mereka sendiri. Mereka berbagi kebahagiaan dengan game developer lokal lainnya dengan cara memberikan spot iklan khusus untuk game buatan Indonesia. Untuk bisa memajukan ekosistem game di Indonesia, memang dibutuhkan kolaborasi yang erat.
Hal menarik lain tentang studio game asal Bandung ini adalah mereka juga menganggap ringan kasus munculnya cloning dari Tahu Bulat. Mereka menganggap bahwa rejeki sudah ada jatahnya masing-masing sehingga tidak perlu dipersoalkan lebih jauh. Jika Anda sering melihat Play Store untuk kategori game, maka Anda mungkin sempat melihat berbagai game cloning Tahu Bulat.
DAFTAR PUSTAKA
- https://hybrid.co.id/post/sejarah-valve
- https://hybrid.co.id/post/rahasia-di-balik-kesuksesan-riot-games-dengan-league-legends
- https://www.hitekno.com/games/2020/06/19/190000/dreadout-game-horor-indonesia-sukses-raup-rp-56-miliar
- https://techno.okezone.com/read/2014/11/17/207/1066619/cerita-developer-game-digital-happiness-bangun-startup-dari-nol
- https://dailysocial.id/post/tahu-bulat-game-fenomenal-karya-own-games-studio
- https://tekno.tempo.co/read/790076/game-tahu-bulat-dimainkan-48-juta-orang/full&view=ok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar